Alasan dan jenis pemutusan hubungan kerja terus berkembang dalam praktek. Pandangan pengadilan dalam tiap perkara PHK juga tidak seragam.
PHK.
Susunan tiga huruf itu adalah momok yang sangat menakutkan bagi buruh.
Betapa tidak. Nasib para buruh hampir pasti berantakan jika mendapatkan
surat pemutusan hubungan kerja. Secara status, seseorang yang di-PHK
tidak lagi menyandang predikat buruh di tempatnya bekerja semula. Kalau
tak segera dapat kerja baru, ancaman pengangguran ada di depan mata.
Secara ekonomi, mereka yang di-PHK bisa kehilangan sumber
pencahariannya.
PHK alias pemutusan hubungan kerja
memang bukan barang haram dalam hukum perburuhan di Indonesia. UU No.
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan)
mendefinisikan PHK sebagai pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja
dan pengusaha.
Secara
normatif, ada dua jenis PHK, yaitu PHK secara sukarela dan PHK dengan
tidak sukarela. Ada beberapa alasan penyebab putusnya hubungan kerja
yang terdapat dalam UU Ketenagakerjaan. PHK sukarela misalnya, yang
diartikan sebagai pengunduran diri buruh tanpa paksaan dan tekanan.
Begitu pula karena habisnya masa kontrak, tidak lulus masa percobaan (probation), memasuki usia pensiun dan buruh meninggal dunia.
PHK
tidak sukarela dapat terjadi antara lain karena buruh melakukan
kesalahan berat seperti mencuri atau menggelapkan uang milik perusahaan
atau melakukan perbuatan asusila atau
perjudian di lingkungan pekerjaan. Selama ini, alasan PHK karena
kesalahan berat itu diatur dalam pasal 158 UU Ketenagakerjaan. Pasal ini
pernah diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya
menyatakan bahwa kesalahan berat yang dituduhkan kepada buruh harus
dibuktikan terlebih dulu oleh putusan peradilan pidana di pengadilan
umum.
Selain
itu PHK tidak sukarela juga bisa terjadi lantaran buruh melanggar
perjanjian kerja, PKB atau PP. Perusahaan yang juga sedang melakukan
peleburan, penggabungan dan atau perubahan status, memiliki opsi untuk
mempertahankan atau memutuskan hubungan kerja. Nah, untuk konteks PHK
tidak sukarela ini, hubungan kerja antara pengusaha dengan buruh baru
berakhir setelah ditetapkan oleh Lembaga Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial. Tidak demikian dengan PHK yang sukarela.
Alasan PHK
|
Kompensasi
|
Pengaturan di UU No 13/2003
|
Mengundurkan diri tanpa tekanan
|
Berhak atas UPH
|
Pasal 162 Ayat (1)
|
Tidak lulus masa percobaan
|
Tidak berhak kompensasi
|
Pasal 154
|
Selesainya PKWT
|
Tidak Berhak atas Kompensasi
|
Pasal 154 huruf b
|
Pekerja melakukan kesalahan berat
|
Berhak atas UPH
|
eks Pasal 158 Ayat (3)
|
Pekerja melakukan Pelanggaran Perjanjian Kerja, Perjanjian Kerja Bersama, atau Peraturan Perusahaan
|
1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
|
Pasal 161 Ayat (3)
|
Pekerja mengajukan PHK karena pelanggaran pengusaha
|
2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
|
Pasal 169 Ayat (1)
|
Pernikahan antar pekerja (jika diatur oleh perusahaan)
|
1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
|
Pasal 153
|
PHK Massal karena perusahaan rugi atau force majeure
|
1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
|
Pasal 164 (1)
|
PHK Massal karena Perusahaan melakukan efisiensi.
|
2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
|
Pasal 164 (3)
|
Peleburan, Penggabungan, perubahan status dan Pekerja tidak mau melanjutkan hubungan kerja
|
1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
|
Pasal 163 Ayat (1)
|
Peleburan, Penggabungan, perubahan status dan Pengusaha tidak mau melanjutkan hubungan kerja
|
2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
|
Pasal 163 Ayat (2)
|
Perusahaan pailit
|
1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
|
Pasal 165
|
Pekerja meninggal dunia
|
2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
|
Pasal 166
|
Pekerja mangkir 5 hari atau lebih dan telah dipanggil 2 kali secara patut
|
UPH dan Uang pisah
|
Pasal 168 Ayat (1)
|
Pekerja sakit berkepanjangan atau karena kecelakaan kerja (setelah 12 bulan)
|
2 kali UP, 2 kali UPMK, dan UPH
|
Pasal 172
|
Pekerja memasuki usia pensiun
|
opsional
|
Sesuai Pasal 167
|
Pekerja ditahan dan tidak dapat melakukan pekerjaan (setelah 6 bulan)
|
1 kali UPMK dan UPH
|
Pasal 160 Ayat (7)
|
Pekerja ditahan dan diputuskan bersalah
|
1 kali UPMK dan UPH
|
Pasal 160 Ayat (7)
|
Keterangan:
UP = Uang Pesangon, UPMK = Upah Penghargaan Masa Kerja,
UPH = Uang Penggantian
Hak ( sumber : www.hukumpedia.com, diolah)
Berkembang dalam Praktik
Seperti
disebutkan di atas, PHK memang menjadi momok tersendiri. Hampir semua
buruh pasti tidak mau di-PHK. Karenanya, jika pengusaha memutuskan
hubungan kerja, buruh akan mati-matian mempertahankan pekerjaan dan
haknya.
Dalam
praktik, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang diberikan kewenangan
oleh UU No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial (UU PPHI) memang lebih banyak menangani perkara perselisihan
PHK ketimbang perselisihan lainnya, yaitu hak, kepentingan dan
perselisihan antar serikat pekerja. Hal ini menandakan maraknya praktik
PHK yang tidak sukarela.
Salah
satu alasan yang cukup sering digunakan pengusaha untuk menjatuhkan PHK
adalah kesalahan buruh karena dianggap menyalahgunakan fasilitas
kantor. Anehnya, ada beberapa perkara dimana pengusaha masih menggunakan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan sebagai dasar memutuskan hubungan kerja. Sebut saja perkara antara PT Huntsman Indonesia melawan Sabar Siregar
di PHI Jakarta. Dalam perkara ini, hakim menolak gugatan pengusaha
karena Perjanjian Kerja Bersama yang masih mencantumkan Pasal 158
dianggap tidak memiliki kekuatan mengikat lagi.
Namun, lain uban lain isi kepala. Masih di PHI Jakarta , majelis hakim yang lain malah menabrak kompetensi pengadilan pidana dengan memutuskan hubungan kerja antara Nudin melawan PT Wisma Bumiputera
karena dinilai terbukti melakukan penganiayaan terhadap rekan kerjanya
sendiri. Padahal, belum ada putusan pidana yang menghukum Nudin.
Menarik untuk mencermati perkara antara Maruli Simatupang melawan PT Taylor Indonesia di PHI Jakarta .
Majelis hakim pada akhirnya memutuskan hubungan kerja Maruli dengan
perusahaan dan memberikan hak atas pesangon karenanya. Uniknya, Maruli
dinyatakan bersalah telah memakai uang perusahaan hingga berpuluh-puluh
juta. Artinya, tindakan Maruli sebenarnya dapat dikualifisir dalam
kesalahan berat sebagaimana diatur pasal 158 UU Ketenagakerjaan.
Sementara eks Pasal 158 UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa buruh yang
diPHK karena kesalahan berat hanya berhak atas uang penggantian hak,
namun hakim dengan pertimbanganya sendiri memutuskan untuk memberikan uang pesangon.
Perkara lain yang cukup menarik adalah perkara antara karyawan vs manajemen Hotel Grand Menteng. Para
karyawan yang didampingi LBH Jakarta menggugat perusahaan karena
dianggap melakukan intimidasi atau tekanan psikis sehingga para karyawan
mengundurkan diri. Hakim PHI Jakarta
mengabulkan gugatan karyawan dengan menyatakan pengunduran diri
karyawan tidak sah karena disertai ancaman. Pertimbangan hakim saat itu
sangat sederhana. Para penggugat (karyawan, -red)
adalah pekerja kelas menengah ke bawah. Di masa sulit seperti ini
sangat tidak masuk akal kalau para pekerja mau mengundurkan diri secara
sukarela, padahal tidak ada masalah yang berarti ketika penggugat
bekerja di sana , begitu menurut hakim.
PHK Jenis Baru
Trend
atau perkembangan ternyata juga menjangkit di perselisihan hubungan
industrial. Untuk PHK misalnya. Selain yang sudah tegas diatur dalam
undang-undang, alasan terjadinya PHK ternyata juga berkembang dalam
praktik. Tentu saja harus dengan kesepakatan para pihak, yaitu buruh dan
pengusaha, yang biasanya tertuang dalam Perjanjian kerja atau PKB.
Tengok pengalaman Dewi Anggraeni, Sekjen Ikatan Awak Kabin Garuda Indonesia (IKAGI) yang mendampingi beberapa pramugari yang di-PHK Garuda Indonesia karena tidak berhasil menurunkan berat badan. Untungnya, majelis hakim PHI Jakarta
yang mengadili perkara ini menyatakan bahwa perusahaan telah membuat
peraturan dan menjatuhkan sanksi secara sepihak sehingga PHK itu menjadi
tidak sah.
Modus
lain dari perkembangan PHK adalah tindakan pengusaha yang menyewakan
perusahaannya, baik aset maupun buruhnya, kepada pengusaha lain. Dengan
demikian, nasib buruh menjadi terkatung. Hal ini yang kini sedang
diadvokasi oleh Gerakan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) terhadap buruh di
Cikarang. Ini adalah modus baru
karena UU Ketenagakerjaan hanya mengenal PHK untuk perusahaan yang
menggabungkan diri, melebur atau merubah statusnya. Eh, sekarang malah
ada praktik menyewakan aset perusahaan dan buruhnya seperti ini? keluh
Hermawanto, pengacara publik LBH Jakarta.
Yang
agak mutakhir adalah kasus PHK karena pekerja mengikuti aliran agama
tertentu. Hal itu yang dialami tiga orang karyawan yang dipecat badan
pengelola sebuah masjid terkenal di Jakarta lantaran kedapatan mengikuti
aliran Al Qiyadah Al Islamiyah pimpinan Mushadeq. Dalam keputusan yang dibuat pada akhir Oktober 2007 itu, jelas seorang sumber hukumonline, ketiga
karyawan ini disebutkan tidak berhak atas pesangon atau imbalan apapun.
Patut dicatat bahwa UU Ketenagakerjaan jelas menyebutkan bahwa buruh
atau pekerja tidak boleh diperlakukan secara diskriminatif.
Jadi, dalam praktek, alasan untuk mem-PHK seseorang memang terus berkembang melampaui rumusan peraturan perundang-undangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar