Home » » PHK Karena Kesalahan Berat Masih Jadi Perdebatan

PHK Karena Kesalahan Berat Masih Jadi Perdebatan

Written By Unknown on Senin, 05 Agustus 2013 | 21.50

Bagaimana jika ketentuan kesalahan berat di Pasal 158 UU Ketenagakerjaan dipindahkan kedalam Perjanjian Kerja Bersama atau Peraturan Perusahaan?


Jakarta - Pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan kesalahan berat sesuai Pasal 158 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan kembali terjadi. Kali ini menimpa Rommel Ginting yang bekerja sebagai Head Service Electrical Method di perusahaan pertambangan migas, Total E&P Indonesie. Rommel dipecat karena dianggap membocorkan rahasia perusahaan.

Kasus ini bermula pada akhir 2007. Rommel yang telah bekerja selama 20 tahun di perusahaan pertambangan itu, dituduh telah membocorkan rahasia perusahaan ke perusahaan peserta lelang. Rommel pun diduga kerap mendapat fee dari perusahaan pemenang tender. Perusahaan lantas membentuk tim audit. Hasilnya, tim menemukan indikasi kongkalikong antara Rommel dan pemenang tender. Karenanya, Rommel dianggap melanggar Pasal 81 PKB 2006-2008 yang mengatur tentang larangan membocorkan rahasia perusahaan dan larangan menerima imbalan dari rekanan. 

Tuduhan itu dijadikan dasar perusahaan mengajukan gugatan PHK tanpa pesangon ke PHI Samarinda. Gugatan dilayangkan setelah perusahaan menolak anjuran Disnaker Balikpapan yang menganjurkan perusahaan memberikan uang penghargaan atas pengabdian (pensiun dini) dan upah proses sebesar Rp2,072 miliar. Pasalnya, di sela-sela perselisihan ini terjadi, Rommel mengajukan pensiun dini dengan alasan keributan yang terus menerus terjadi. Dalam pertimbangannya, mediator menilai pelanggaran berat dituduhkan perusahaan tak terbukti. 

Majelis hakim PHI Samarinda yang diketuai Tugiyanto mengabulkan gugatan perusahaan dengan pertimbangan meski tuduhan pelanggaran tak terbukti, Rommel kerap berhubungan via email dengan perusahaan rekanan. Padahal Rommel tak memiliki kewenangan untuk itu. Hal itu menimbulkan kecurigaan yang mengakibatkan hilangnya kepercayaan yang pada giliranya terjadi ketidakharmonisan dalam hubungan kerja. Karenanya, majelis mengabulkan PHK dengan uang pesangon sebesar Rp916,6 juta dan upah proses hingga putusan berkekuatan hukum tetap. 

Tak puas dengan alasan kecurigaan yang didalilkan hakim PHI, Rommel mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Alih-alih dibatalkan, Majelis hakim kasasi yang diketuai Widayatno Sastrohardjono beranggotakan Fauzan dan Dwi Tjahyo Soewarsono justru menguatkan putusan PHI Samarinda pada Februari 2009. 

Dalam pertimbangannya, majelis kasasi berpendapat penerapan hukum mengenai hak-hak yang diperoleh pemohon kasasi (Rommel) akibat PHK telah dipertimbangkan dengan tepat dan benar oleh judex factie dimana tergugat dinyatakan bersalah. Namun karena prestasinya yang baik dan sesuai rasa keadilan, diberi hak secara maksimal sesuai UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Kuasa hukum Rommel, Janses E Sihaloho menyesalkan putusan PHI dan MA yang mengabulkan PHK terhadap klien. Janses mengutip putusan MK No. 012/PUU-I/2003 yang menghapuskan ketentuan Pasal 158 tentang kesalahan berat sebagai alasan PHK. Menurut Janses, PHI dan MA seharusnya menunggu terlebih dulu putusan pidana yang menyatakan Rommel bersalah telah membocorkan rahasia perusahaan. “Ini dilaporkan ke polisi saja tidak pernah untuk diproses pidana karena dalam hukum acara PHI hanya pembuktian formal (surat-surat),” kata Janses. Terlebih ada surat pernyataan Haryanto tertanggal 26 Mei 2007 yang menunjukan kalau dia tak pernah memberikan keterangan sebagaimana tuduhan perusahaan. 

Pengajar hukum perburuhan Universitas Trisakti, Yogo Pamungkas menuturkan bahwa kesalahan berat sebagai alasan PHK, masih sering menimbulkan perdebatan dalam praktik. Yogo mengetahui bahwa Mahkamah Konstitusi memang telah membatalkan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan. Namun masalah akan muncul ketika isi Pasal 158 dituangkan kedalam PKB. “Hal ini masih debatable di kalangan hakim, memindahkan kaedah heteronom ke otonom.” 

Namun, UU Ketenagakerjaan sudah menentukan bahwa isi suatu peraturan perusahaan maupun perjanjian kerja bersama tak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Artinya, jika UU Ketenagakerjaan saja sudah ‘menghapuskan’ kesalahan berat sebagai alasan PHK, maka seyogianya peraturan otonom tak boleh mengaturnya. 

Pesangon atau pensiun
Janses menilai putusan PHI ultra petita -mengabulkan sesuatu yang tak dituntut- lantaran tuduhan sejumlah pasal yang tercantum dalam PKB 2006-2008 Total yang dialamatkan kepada kliennya tak terbukti, tetapi gugatan PHK-nya dkabulkan. “Biasanya dalam gugatan ada prinsip ex aquo et bono (memutus sesuai rasa keadilan), kalau hakim menerapkan prinsip itu, berarti prinsipnya tak boleh merugikan buruh terkait besarnya uang pesangon. Makanya, besarnya uang pesangon dihitung sesuai ketentuan PKB (sesuai perhitungan Disnakertrans) dengan alasan purna karya dipercepat.” 

Ironisnya, kata Janses, dalam putusan kasasi disebutkan bahwa kliennya dianggap bersalah, tetapi karena prestasinya diberikan hak sesuai UU. Namun dalam putusan PHI Samarinda tak disebutkan pernyataan bersalah. “Ini kan parah, putusan kasasi MA kontradiktif,” ujarnya. 

Menurutnya, dalam hukum perburuhan dikenal asas kaedah hukum heteronom (UU) dan otonom (PKB, Peraturan Perusahaan). Kalau kaedah otonom lebih menguntungkan daripada heteronom maka yang dipakai kaedah otonom. “Kalau ketentuan pesangon PKB lebih menguntungkan buruh, kenapa mesti pakai ketentuan UU?” dalihnya. Dengan alasan itu, Janses mengajukan upaya hukum peninjauan kembali dengan alasan ada kekeliruan yang nyata dalam putusan PHI dan MA.

Terpisah, kuasa hukum perusahaan, Willy Farianto tak berkomentar banyak. Pasalnya, ia mengaku surat kuasanya sudah berakhir di tingkat kasasi. “Putusan kasasi sudah diputus mau apalagi? wong sudah final and binding kok. Tetapi kalau pihak Rommel akan mengajukan peninjauan kembali (PK), saya selaku lawyer-nya tidak tahu,” kata Willy kepada hukumonline, Rabu (6/1). “Kalau memang benar-benar PK diajukan, nanti terserah perusahaan maunya gimana.” 

Yogo Pamungkas berpendapat bahwa tuntutan Rommel agar dirinya mendapat uang pesangon sesuai anjuran Disnakertrans, dinilai tidak tepat. Ia beralasan pensiun dini yang diajukan Rommel saat dirinya di-PHK dapat dipersamakan dengan mengundurkan diri atas kemauannya. Padahal kasus ini merupakan PHK atas kemauan perusahaan. 

“Ada konsekwensi yang berbeda antara pensiun dini dan di-PHK, pensiun dini seperti mengundurkan diri oleh perusahaan diatur, seperti masa kerja, besaran kompensasi. Jadi, PHK atas kemauan sendiri,“ kata Yogo beberapa waktu lalu. 

Persoalannya, kata Yogo, si pekerja mempermasalahkan pensiun dini, sementara perusahaan mempermasalahkan dugaan membocorkan rahasia perusahaan. “Kalau tak ada kasus membocorkan rahasia, terus mengajukan pensiun dini, selesai sudah masalahnya. Tetapi ketika ada kesalahan berat terus di-PHK gak terima, terus pensiun dini, maka konteksnya gak tepat,” ujar Yogo menjelaskan. “Kalau si pekerja merujuk pada anjuran Disnakertrans, apakah dalam rangka PHK atau pensiun dini?” (hukumonline)


Note: Diterbitkan ulang dari hukumonline untuk bahan diskusi buruh
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Ramches Merdeka | SBMI | Mas Template
Copyright © 2011. GEBUK PHK - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger