Selain tidak boleh bertentangan, kaidah otonom juga tidak boleh menambah norma baru selain yang sudah diatur dalam kaidah heteronom.
Demikian
diungkapkan Widodo Suryandono, pengajar Hukum Perburuhan Universitas
Indonesia di hadapan majelis hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)
Jakarta, Kamis (12/6). Widodo didaulat sebagai ahli untuk memberikan
keterangan dalam perkara perselisihan PHK antara Bank Mandiri melawan Mirisnu Viddiana.
Mirisnu
Viddiana yang akrab dipanggil Viddi adalah Ketua Umum Serikat Pegawai
Bank Mandiri (SPBM) yang tersandung masalah hukum dengan Bank Mandiri.
Bank plat merah itu mengajukan gugatan untuk mem-PHK Viddi
lantaran dianggap bertanggungjawab atas aksi unjuk rasa yang diikuti
sekitar 1600 pegawai pada 4 Agustus 2006 lalu.
Bank Mandiri menganggap tindakan Viddi memimpin dan mengorganisir unjuk rasa menjatuhkan citra perusahaan dan tidak menghormati perusahaan adalah kesalahan berat.
Bank Mandiri berpedoman pada Peraturan Disiplin Kepegawaian. Peraturan
ini mengatur mulai dari disiplin pegawai, hal-hal yang dilarang
dilakukan oleh pegawai, hingga pemberian sanksi bagi pegawai yang
melanggar.
Di
sisi lain kuasa hukum Viddi berpandangan sebaliknya. Unjuk rasa bukan
kesalahan berat dan unjuk rasa itu juga tidak terbukti telah membuat
nama buruk perusahaan. Buktinya, tidak ada rush dan kerugian yang
dialami Bank Mandiri, cetus Saepul Tavip, kuasa hukum Viddi. Boleh
jadi, Tavip merujuk pada UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
yang tidak mengkualifisir aksi unjuk rasa sebagai kesalahan berat.
Perbedaan
cara pandang antara Bank Mandiri dan Viddi ini semakin mencuat di
persidangan. Untuk menguatkan argumentasinya, kubu Viddi kemudian
menggandeng Widodo untuk menjadi ahli di persidangan.
Tidak Boleh Bertentangan
Di
persidangan, Widodo mengungkapkan kewajiban agar kaidah otonom harus
tunduk kepada kaidah heteronom. Bahkan, kaidah otonom juga tidak boleh
mengatur suatu hal yang sudah dijelaskan secara rinci dalam kaidah
heteronom.
Kaidah
otonom dalam konteks hukum perburuhan biasa dikenal dengan Peraturan
Perusahaan, Perjanjian Kerja atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
Sementara kaidah heteronom diartikan sebagai intervensi
pemerintah dengan produk peraturan perundang-undangannya. Kedudukan
para pihak (buruh-majikan, red) dalam hukum perburuhan tidak seimbang.
Oleh karena itu, pemerintah harus menyeimbangkannya, Widodo berujar.
Kewajiban
agar kaidah otonom tidak bertentangan dengan kaidah heteronom, kata
Widodo, tertuang tegas dan tersebar di beberapa Pasal di dalam UU No 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
UU Ketenagakerjaan
Pasal 54 Ayat (2) :
Ketentuan
dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan
f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian
kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 111 Ayat (2) :
Ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 124 Ayat (2) :
Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 124 Ayat (3) :
Dalam
hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka
ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku
adalah ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
|
Lebih
jauh Widodo berpendapat, setiap perjanjian kerja, peraturan perusahaan
dan atau PKB wajib dilaporkan ke instansi ketenagakerjaan setempat.
Nantinya, Depnakertrans atau Disnakertrans yang meneliti apakah kaidah
otonom itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau tidak.
Tidak Boleh Ditambah
Terhadap
penjelasan Widodo, Tyas W. Nugrohoyekti, kuasa hukum Bank Mandiri di
persidangan bertanya seputar boleh tidaknya penambahan ketentuan di
dalam kaidah otonom meski sudah diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Tyas
mencontohkan mengenai penambahan syarat atau kriteria kesalahan berat
yang bisa dipakai untuk memecat buruh secara seketika tanpa keharusan
memberi peringatan terlebih dulu. Misalkan kesalahan berat dimana
pekerja merokok, padahal lingkungan kerjanya sangat rentan dan berbahaya
jika ada api. Contohnya pegawai di SPBU lah, ia mencontohkan.
Kesalahan
berat, jelas Widodo, pada prinsipnya sudah diatur dalam Pasal 158 Ayat
(1) UU Ketenagakerjaan. Paling tidak, ada 10 jenis kesalahan berat yang
disebut dalam pasal itu. Ketika Mahkamah Konsitusi membatalkan pasal itu,
sambung Widodo, pandangan akademisi dan praktisi hukum menjadi terbelah
dalam memandang kesalahan berat. Ada yang menyatakan pasal itu tidak
berlaku lagi, ada juga yang masih menggunakannya sepanjang sudah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Saya sendiri sependapat dengan pandangan yang kedua.
Berdasarkan catatan hukumonline, pandangan PHI Jakarta memang belum seragam atas perkara PHK karena kesalahan berat. Ada yang manut dengan putusan MK, ada juga yang sebaliknya.
Dalam
konteks PKB maupun peraturan perusahaan, masih menurut Widodo,
perusahaan dibolehkan mengadopsi ketentuan eks Pasal 158 UU
Ketenagakerjaan itu. Meski begitu, Widodo berpendapat bahwa penambahan
jenis atau kriteria kesalahan berat selain yang sudah diatur dalam UU
Ketenagakerjaan, tidak dibolehkan.
Widodo
punya argumentasi sendiri untuk menolak penambahan norma di dalam
kaidah otonom. Menurutnya, jika penambahan norma dimungkinkan, kedudukan
buruh-majikan akan semakin jomplang. Nanti pengusaha seenaknya sendiri
memasukan semua kesalahan menjadi kesalahan berat, sehingga pengusaha
bisa langsung melakukan PHK, demikian Widodo.
Note:
Perkara perselisihan PHK antara Bank Mandiri melawan Mirisnu Viddiana diterbitkan ulang dari hukumonline untuk bahan diskusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar