GEBUK PHK, Jakarta - Yang mengalami PHK ternyata juga terjadi pada puluhan Anak Buah Kapal (ABK) yang tergabung dalam Solidaritas ABK Trinidad dan Tobago berunjuk rasa di kantor Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) di Pancoran, Selasa (9/7/2013).
Menurut koordinator ABK, Imam Syapii, Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) yang dikeluarkan oleh BNP2TKI sebagai perangkat untuk melindungi TKI yang bekerja di luar negeri menjadi tidak berarti bagi kami. Pasalnya, kartu tersebut ada namun tidak mengikutsertakan kami dalam asuransi yang merupakan bagian dari bentuk perlindungan terhadap kami sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Terlepas dari adanya pihak yang sengaja dalam pembuatan KTKLN tersebut, kami adalah korban dari tidak maksimalnya kewajiban pengawasan oleh BNP2TKI. Karena itu, kami mendesak BNP2TKI bertanggung jawab atas klaim asuransi para ABK.
“KTKLN yang dikeluarkan BNP2TKI tidak memenuhi persyaratan dalam pencairan asuransi sebagai bentuk perlindungan terhadap tenaga kerja yang bekerja di luar negeri,” terang Imam.
Lebih jauh dikatakan Imam, tidak terpenuhinya hak-hak para ABK mencerminkan lemahnya perlindungan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai bagian dari pelaksana perlindungan sejak dari pra penempatan, saat penempatan, dan purna penempatan.
Perlindungan yang dimaksud, lanjut Imam, adalah segala upaya untuk melindungi kepentingan TKI dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, serta pembelaan atas pemenuhan hak?hak sesuai dengan perjanjian kerja sebagaimana amanat ketentuan Pasal 77 dan Pasal 80 UU No. 39 Tahun 2004.
”UU No. 39 tahun 2004 sudah sangat jelas melindungi kepentingan TKI, namun pemerintah tidak melaksanakannya,” tegasnya.
Imam mengungkapkan, terdapat 203 ABK yang terdampar di Trinidad and Tobago yang dipulangkan oleh pemerintah sekitar akhir 2012 lalu, sampai sekarang masih berjuang mendapatkan hak-haknya yang dirugikan sebagai TKI.
Negara yang secara jelas mendapat amanat konstitusi dan perundang-undangan sebagai pemain utama dalam melindungi warga negaranya termasuk perlindungan terhadap hak-hak TKI yang bekerja di luar negeri seakan terdiam dan membiarkan penderitaan para ABK yang sudah dirasakan sejak sebelum berangkat sampai dengan saat ini.
“Negara sengaja membiarkan penderitaan kami yang sudah kami rasakan sejak sebelum keberangkatan sampai sekarang,” katanya.
Oleh karena itu, Solidaritas ABK menuntut Pemerintah berperan aktif dalam penyelesaian kasus ABK baik upaya diplomasi maupun hukum secara tegas dan konkrit guna pemenuhan hak-hak kami seperti gaji maupun hak asuransi.
Pemerintah, tambah Imam, harus melakukan pengawasan terhadap perusahaan pengerah TKI yang cenderung mengutamakan bisnis semata daripada membantu dalam memajukan kesejahteraan kami sebagai rakyat Indonesia.
Tuntutan lain, Solidaritas ABK Trinidad dan Tobago meminta Pemerintah melakukan tindakan-tindakan hukum konkrit kepada pelaku yang telah merugikan kepentingan hukum kami disamping perlindungan kami yang terindikasi sebagai korban tindak pidana perdagangan orang dalam modus perekrutan tenaga kerja.
Kami juga mendesak DPR melakukan fungsi pengawasan terhadap lembaga pemerintah seperti BNP2TKI, Kemanaker dan instansi yang berkewajiban melindungi kami ABK yang terlantar di Trinidad and Tobago karena saat ini telah gagal melakukan perlindungan yang merupakan hak kami sebagai tenaga kerja indonesia luar negeri.
Menanggapi aksi yang dilakukan Solidaritas ABK Trinidad dan Tobago di BNP2TKI, anggota Komisi IX DPR, Poempida Hidayatulloh menilai, masalah trafiking yang menimpa 203ABK yang bertugas di Trinidad dan Tobago, Amerika Selatan adalah masalah serius.
“Karena pertama, pengawasannya sangat sulit dilakukan karena ruang lingkupnya di laut. Mereka kan waktunya lama sekali di laut dan kadang-kadang, proses pendatannya tidak jelas dikarenakan berbagai macam masalah,” ujarnya kepada wartawan di DPR.
Selain itu, menurut politisi Partai Golkar ini, kementerian mana yang bertanggung jawab terkait masalah ini tidak diketahui.
“Karena sebenarnya, pembinaan untuk mereka harusnya ada di Kementerian Perhubungan. Tapi kemudian pemberangkatan, kewajibannya tidak boleh dari Kemenhub, seharusnya dari BNP2TKI,” ujarnya.
Karena itu, menurut anggota Pansus RUU PPILN ini mendesak hal tersebut disinkronisasaikan dalam RUU Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPILN) yang kini sedang dibahas oleh Panitia Khusus (Pansus) DPR.
“Sayangnya, pemerintah belum memasukkan Kementerian Perhubungan dalam konteks pembahasan RUU PPILN,” tegasnya.
“Saya berharap, pemerintah bisa merevisi surat mandat yang diberikan Presiden ke beberapa Kementerian untuk membahas RUU PPILN ini untuk memasukkan Kementerian Perhubungan karena masalah-masalah tadi sudah dijelaskan, betapa menyedihkan mereka, sudah hampir dua tahun bekerja, tetapi belum mendapatkan gaji,” tandasnya. (rri)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar