Home » » Pergerakkan Serikat Pekerja di Indonesia dan Solidaritas Serikat Pekerja Internasional

Pergerakkan Serikat Pekerja di Indonesia dan Solidaritas Serikat Pekerja Internasional

Written By Unknown on Jumat, 23 Agustus 2013 | 20.28


Ratifikasi Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi melalui Keppres No. 83 Tahun 1998 telah menjadi batu penjuru bagi pelaksanaan hak berserikat dan berorganisasi bagi para pekerja di Indonesia tak terkecuali para pekerja disektor pelayanan umum (BUMN/BUMD Bahkan Pegawai Negeri Sipil dan Guru). Ratifiskasi Konvensi tersebut dipertegas kembali dengan disyahkannya UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh, dan hal ini memberikan kemajuan yang sangat signifikan dalam kebebasan berserikat. Pekerja menikmati kebebasan baru untuk bergabung dengan dan membentuk serikat pekerja pilihan mereka sendiri dan banyak pekerja telah melaksanakan hak tersebut, baik pada tingkat nasional maupun lokal (ditempat kerja). Meskipun kemajuan secara nyata telah diperoleh dibidang kebebasan berserikat, tetapi beberapa kesulitan-kesulitan dalam pelaksanaan hak secara penuh masih tetap saja dirasakan dan dihadapi oleh para pekerja.

International Labour Standards (ILS)
Indonesia telah meratifikasi (mensyahkan) sebanyak tujuh belas belas standard perburuhan internasional dalam bentuk konvensi (biasa disebut dengan Konvensi ILO), dan delapan diantara standar itu adalah Standar Inti Perburuhan (Core Labour Standards):

  • Konvensi ILO No. 29 tentang Penghapusan Kerja Paksa
  • Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi ;
  • Konvensi ILO No. 98 tentang Hak Berorganisasi dan Melakukan Perundingan Bersama
  • Konvensi ILO No. 100 tentang Pemberian Upah Yang Sama Bagi Para Pekerja Pria dan Wanita
  • Konvensi ILO No. 105 tentang Penghapusan Semua Bentuk Kerja Paksa
  • Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan
  • Konvensi ILO No. 138 tentang Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja
  • Konvensi ILO No. 182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak.
Mengapa standar perburuhan internasional? Mengapa ada Konvensi ILO? Organisasi Perburuhan Internasional (ILO – International Labour Organisation) adalah badan perwakilan khusus dari Persatuan Bangsa . Bangsa (PBB), yang mempromosikan keadilan sosial dan pengakuan internasional akan hak-hak manusia dan pekerja. ILO didirikan dengan maksud untuk pencapaian perdamaian abadi dan universal, melalui keadilan sosial. ILO menetapkan standar perburuhan internasional melalui adopsi dari konvensi – konvensi dan juga rekomendasi-rekomendasi yang sesuai. Konvensi-konvensi ini mencerminkan pengakuan internasional akan hak-hak minimum pekerja. Konvensi-konvensi dirancang agar relevan dengan negara-negara di seluruh dunia, tanpa memperhatikan tingkat perkembangan sosial atau ekonomi. Pada saat yang sama konvensi-konvensi tersebut harus cukup spesifik agar menjadi lebih berarti pada aplikasinya.

ILO adalah lembaga tripartit. Semua prosedur pengambilan keputusan, termasuk negosiasi dari suatu Konvensi, melibatkan perwakilan dari pemerintah (Negara-Negara Anggota), para pekerja dan para pengusaha. Standar perburuhan internasional dirancang untuk menyediakan suatu acuan untuk penegakan hak asasi manusia dalam dunia kerja dan digunakan sebagai penuntun untuk penyusunan dan implementasi bagi kebijakan perburuhan dan sosial pada tingkat nasional. Bahkan jika suatu negara tidak meratifikasi konvensi, maka negara tersebut sering menjadikan konvensi sebagai acuan oleh badan nasional sebagai peraturan minimum yang diakui secara internasional. Suatu konvensi tidak mengikat negara-negara anggota ILO kecuali jika konvensi tersebut diratifikasi oleh negara yang bersangkutan. Ketika sebuah standar diadopsi melalui Konferensi Perburuhan Internasional, semua negara-negara anggota ILO diharuskan untuk membawa konvensi-konvensi tersebut kepada pihak atau pihak-pihak yang berwenang yang mempunyai kompetensi terkait dengan isi konvensi tersebut, untuk mengundangkan peraturan atau tindakan lainnya. Jika negara tersebut memutuskan untuk meratifikasi sebuah Konvensi, dibutuhkan beberapa tahapan untuk mengimplementasi peraturan-peraturan dari konvensi itu di dalam hukum, kebijakan dan praktek lokal.

Artinya ketika pemerintah Indonesia membuat peraturan dan ketentuan perburuhan nasional harus minimal sama dengan standar perburuhan internasional yang ada atau tidak lebih buruk. Namun demikian, pengakuan pada ketentuan dari Konvensi seringkali terhalang oleh hambatan serius dimana peraturan perundang-undangan tidak mampu menjamin secara memuaskan jaminan yang ditetapkan Konvensi yang menyangkut langkah-langkah perlindungan terhadap pelanggaran hak-hak serikat pekerja, baik karena ketentuan-ketentuannya tidak cukup mendorong untuk tidak melakukan atau karena ketentuan-ketentuan itu menyampingkan kategori-kategori pekerja tertentu (seperti pembantu rumah tangga, pekerja pertanian, pegawai negeri), ataupun juga karena keadaan akan pengakuan kemerdekaan sipil dan politik dan pengakuan terhadap hak asasi manusia. Hal tersebut menjadi komitmen terus menerus serikat pekerja untuk pencapaian hak-hak pekerja/serikat pekerja sebagai legitimasi akan martabatnya sebagai manusia yang dilindungi oleh hukum/undang-undang/standar-standar internasional perburuhan.

Disamping itu juga Konvensi ILO bisa dikatakan sofl laws yang bagaimanapun juga tidak memiliki kekuatan mengikat dengan sanksi ketika negara atau pengusaha atau pihak-pihak lainnya melakukan pelanggaran atas pelaksanaan konvensi yang dimaksud.

ILO pada bulan Juni 1998 melalui Konferensi perburuhan Internasional telah mengadopsi Deklarasi mengenai Prinsip-Prinsip dan Hak-Hak Mendasar di Tempat Kerja, hal ini menandai penegasan kembali kewajiban universal para negara anggota ILO untuk menghargai, memasyarakatkan, dan mewujudkan prinsip-prinsip mengenai hak-hak mendasar yang menjadi subjek dari Konvensi-Konvensi ILO, sekalipun mereka belum meratifikasi Konvensi-Konvensi tersebut (Indonesia menjadi Anggota ILO sejak tahun 1950).

Standar perburuhan nasional (undang-undang perburuhan/tenaga kerja)
Reformasi standar perburuhan nasional dipacu oleh kondisi krisis keuangan yang melanda Indonesia pada tahun 1997/1998. Krisis tersebut memberikan perkembangan baru bagi PERUBAHAN DASAR HAK ASASI MANUSIA DAN HAK-HAK PEKERJA, krisis ”melahirkan” pemerintah baru yang harus ”tunduk” pada ketentuan-ketentuan atau standar-standar internasional yang mengharuskan pemerintah menghormati dan menerapkannya secara nyata dalam bentuk reformasi undang-undang perburuhan.

Kebebasan berserikat adalah perubahan yang paling signifikan dalam tonggak sejarah pergerakkan serikat pekerja di Indonesia melalui ratifikasi Konvensi ILO No. 87/1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi, konvensi tersebut diratifikasi pada tanggal 9 Juni 1998. Yang sebelumnya terjadi ”monopoli” serikat pekerja dan ”larangan” berserikat untuk pegawai BUMN dan Pegawai Negeri Sipil. Tujuan dari Konvensi ini adalah untuk memberikan jaminan kepada pekerja/buruh dan pengusaha akan kebebasan untuk mendirikan dan menjadi anggota organisasinya, demi kemajuan dan kepastian dari kepentingan-kepentingan pekerjaan mereka, tanpa sedikitpun ada keterlibatan negara, pasal 2 “Para pekerja dan pengusaha, tanpa perbedaan apapun, berhak untuk mendirikan dan, menurut aturan organisasi masing-masing, bergabung dengan organisasi-organisasi lain atas pilihan mereka sendiri tanpa pengaruh pihak lain.
bebas mendirikan organisasi tanpa harus meminta persetujuan dari institusi publik yang ada;
tidak adanya larangan untuk mendirikan lebih dari satu organisasi di satu perusahaan, atau institusi publik, atau berdasarkan pekerjaan, atau cabang-cabang dan kegiatan tertentu ataupun serikat pekerja nasional untuk tiap sektor yang ada;
bebas bergabung dengan organisasi yang diinginkan tanpa mengajukan permohonan terlebih dahulu;
bebas mengembangkan hak-hak tersebut diatas tanpa pengecualian apapun, dikarenakan pekerjaan, jenis kelamin, suku, kepercayaan, kebangsaan dan keyakinan politik.

Konvensi ILO No. 87 ini juga menjamin perlindungan bagi organisasi yang dibentuk oleh pekerja ataupun pengusaha, sehingga tanpa adanya campur tangan dari institusi publik, mereka dapat, pasal 3 (1) Organisasi pekerja dan pengusaha berhak untuk membuat anggaran dasar dan peraturan-peraturan, secara bebas memilih wakil-wakilnya, mengelola administrasi dan aktifitas, dan merumuskan program. (2) Penguasa yang berwenang harus mencegah adanya campur tangan yang dapat membatasi hak-hak ini atau menghambat praktek-praktek hukum yang berlaku.

  • bebas menjalankan fungsi mereka, termasuk untuk melakukan negosiasi dan perlindungan akan kepentingan-kepentingan pekerja;
  • menjalankan AD/ART dan aturan lainnya, memilih perwakilan mereka, mengatur dan melaksanakan berbagai program aktifitasnya;
  • mandiri secara finansial dan memiliki perlindungan atas aset-aset dan kepemilikan mereka;
  • bebas dari ancaman pemecatan dan skorsing tanpa proses hukum yang jelas atau mendapatkan kesempatan untuk mengadukan ke badan hukum yang independen dan tidak berpihak;
  • bebas mendirikan dan bergabung dengan federasi ataupun konfederasi sesuai dengan pilihan mereka, bebas pula untuk berafiliasi dengan organisasi pekerja/pengusaha internasional. Bersamaan itu, kebebasan yang dimiliki federasi dan konfederasi ini juga dilindungi, sama halnya dengan jaminan yang diberikan kepada organisasi pekerja dan pengusaha.Pasal 5 “Organisasi pekerja dan pengusaha berhak untuk mendirikan dan bergabung dengan federasi-federasi dan konfederasi-konfederasi dan organisasi sejenis, dan setiap federasi atau konfederasi tersebut berhak untuk berafiliasi dengan organisasi-organisasi pekerja dan pengusaha internasional”.
Konvensi ILO 87 juga MENYEBUTKAN SECARA TEGAS MENGENAI HAK MOGOK, DALAM PASAL 3 AYAT 1: organisasi pekerja dan organisasi pengusaha berhak menyusun AD/ART mereka, memilih wakil-wakil mereka dengan kebebasan penuh, menyelenggarkan administrasi dan kegiatan mereka serta menyusun program mereka” dan ditegaskan lagi pada pasal 10: mendorong dan membela kepentingan pekerja”. Hak mogok adalah hak fundamental bagi pekerja dan organisasi-organisasi mereka sebagai maksud untuk mempromosikan dan membela kepentingan ekonomi dan sosial mereka secara syah. Tetapi mogok adalah usaha akhir dari serikat pekerja setelah usaha-usaha yang bersifat kooperatif atau melalui meja perundingan tidak dapat dicapai kesepakatan.

Implementasi dari konvensi itu juga memastikan bahwa pegawai negeri dan pegawai BUMN/BUMD memiliki hak untuk kebebasan berserikat dan perlindungan hak berorganisasi. Sejalan dengan ratifikasi Konvensi ILO tersebut pemerintah Indonesia mengesahkan UU No. 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Undang-undang ini menjamin:

  • hak pekerja untuk mendirikan dan menjadi anggota serikat pekerja (Pasal 5 ayat 1: setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh)
  • hak serikat pekerja untuk melindungi, membela dan meningkatkan kesejahteraan pekerja beserta keluarganya; dan
  • perlindungan terhadap pekerja dari tindakkan diskriminatif dan intervensi serikat pekerja (pasal 28 ” siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerj/serikat buruh dengan cara: (a) melakukan PHK, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi; (b) tidak dibayar atau mengurangi upah pekerja/buruh; (c) melakukan intimidasi dalam bentuk apapun; (d) melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh. Pasal ini dikuatkan melalui pasal 43 bilamana melanggar pasal 28 ”….dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,0 (seratus juta) dan paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta).
Definisi serikat pekerja adalah organisasi demokratis yang berkesinambungan dan permanen dibentuk secara sukarela dari, oleh dan untuk pekerja sebagai maksud untuk:

  • Melindungi dan membela hak dan kepentingan pekerja beserta keluarganya;
  • Memperbaiki kondisi–kondisi dan syarat – syarat kerja melalui perjanjian tawar menawar kolektif dengan manajemen/pengusaha;
  • Melindungi dan membela pekerja beserta keluarganya akan keadaan sosial dimana mereka mengalami kondisi sakit, kehilangan dan tanpa kerja (PHK);
  • Mengupayakan agar manajemen/pengusaha mendengarkan dan mempertimbangkan suara atau pendapat serikat pekerja sebelum membuat keputusan
  • Kita menyadari bahwa sebagai individu pekerja TIDAK AKAN mampu melindungi dan memperjuangkan kepentingan dan hak-hak yang dimiliki, dan hanya melalui serikat pekerjalah memungkinkan kita menjadi lebih terwakili dan untuk mempertinggi kekuatan dalam menghadapi tekanan dan tantangan yang dihadapi saat ini dan kedepan.
Perjanjian Kerja Bersama
Perjanjian kerja bersama diatur dalam konvensi ILO No. 98 tahun 1949 tentang Hak Berorganisasi dan Melakukan Perundingan Bersama telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui UU No. 18 tahun 1956. Maksud dari Konvensi ini adalah untuk melindungi hak pekerja untuk berserikat tanpa adanya campur tangan dari pihak pengusaha. Konvensi ini juga menguraikan prinsip-prinsip ILO yang mendasar mengenai Berunding Bersama:
  • hak pekerja untuk dilindungi dari berbagai undang-undang diskriminatif terhadap serikat pekerja. Secara khusus adalah undang-undang yang dimaksud untuk menghalangi pekerja untuk bergabung dengan serikat pekerja atau yang kemudian menyebabkan pekerja mengundurkan diri sebagai anggota serikat pekerja. Termasuk pula undang-undang yang menyebabkan pekerja mendapat tuduhan ataupun dipecat karena aktifitas maupun keanggotaan mereka di serikat pekerja;
  • hak organisasi buruh dan pengusaha untuk mendapatkan perlindungan yang layak atas campur tangan dari masing-masing pihak dalam terbentuknya, berfungsinya dan terlaksananya organisasi mereka;
  • memastikan peningkatan perundingan bersama dan sekaligus mempertahankan otonomi para pihak dan sifat sukarela dari negosiasi sebagai maksud untuk menentukan syarat-syarat dan kondisi-kondisi kerja
Dalam syarat melakukan perundingan bersama adalah pengakuan, keperwakilan. Pengakuan ini bersifat tidak diwajibkan (optional), dengan maksud agar jangan sampai organisasi yang paling mewakili diberikan hak-hak istimewa melebihi prioritas dalam perwakilan untuk melakukan perundingan bersama dibandingkan dengan organisasi lainnya yang mewakili (bila terdapat lebih dari satu organisasi pekerja/pengusaha).

Perjanjian kerja bersama memberikan dua sisi manfaat yang berbeda bagi serikat pekerja/pekerja dan pengusaha. Bagi serikat pekerja, perjanjian tawar menawar kolektif memberikan:

(1) nilai kekuatan dengan banyak anggota yang belum terlibat akan menjadi anggota serikat pekerja;

(2) anggota yang aktif akan mengajak atau mempengaruhi anggota yang belum aktif untuk lebih aktif menjadi anggota;

(3) meningkatkan kepercayaan anggota;

(4) anggota lebih terorganisir, serta;

(5) serikat pekerja menjadi suatu hal yang baik bagi pekerja.

Perjanjian kerja bersama ini secara tidak langsung menimbulkan dampak yang menguntungkan, meningkatkan daya saing perusahaan dan sektor bisnis pada umumnya, lebih jauh lagi menimbulkan dampak positif pada hubungan antara pekerja dan serikat pekerja ditingkat perusahaan karena perundingan yang komplek tentang pengupahan dan sebagainya telah ditentukan. Perjanjian tawar menawar kolektif ini akan menekankan serikat pekerja untuk lebih hati-hati dalam penggunaan hak mogoknya sebagai upaya yang paling akhir dan lebih mengedepankan proses dialog atau negosiasi dalam menyampaikan tuntutannya.
Mengedepanan prinsip berunding bersama adalah suatu proses :

(1) pencapaian suatu kesepakatan;

(2) penyelesaian konflik yang saling menguntungkan kedua belah pihak (conflict resolution for mutual gain);

(3) menjaga hubungan industrial yang harmonis dalam waktu lama (maintenance industrial peace).

Hubungan Industrial. Hubungan antara serikat pekerja dan pengusaha adalah bersifat “unik”. Disatu pihak, hubungan hukum yang tidak seimbang terjadi karena sosial ekonomi pengusaha lebih kuat jika dibandingkan dengan serikat pekerja sehingga sangat rentan terhadap terjadinya konflik. Dilain pihak, hubungan saling membutuhkan (mutual symbiosis) antara serikat pekerja dan pengusaha, dan merupakan embrio bagi terciptanya hubungan kerjasama antara serikat pekerja dan pengusaha itu sendiri. Hal yang paling kongkrit dari hubungan yang unik ini adalah keikutsertaan Serikat Pekerja dalam menentukan upah, syarat-syarat kerja dan kondisi kerja lainnya melalui pembentukan perjanjian kerja bersama. Kerjasama dalam menentukan upah, syarat-syarat kerja dan kondisi kerja lainnya adalah suatu sarana dalam meningkatkan hubungan kemitraan serikat pekerja dan pengusaha, dan bukan untuk saling memusuhi. Sekarang pengaturan hubungan industrial menjadi “berubah” dengan ditetapkannya UU No. 2/2004. Undang-Undang No. 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial telah disyahkan dan diundangkan pada tanggal 14 Januari 2004. Undang-undang ini menyediakan instrument penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar dan di dalam pengadilan (dan pada tanggal 14 Januari 2006 bertempat di Padang, Sumatera Barat, Ketua MA Bangir Manan menandatangani prasasti yang menandai beroperasinya 33 pengadilan hubungan industrial di Indonesia).

Kondisi Kini Hukum Perburuhan Indonesia Sejak tahun 1997, Negara selalu berusaha untuk melakukan perombakan besar-besaran dalam sistem hukum perburuhan nasional. Tahun 1997, Negara mensahkan keberlakuan UU Ketenagakerjaan No. 25 tahun 1997. UU ini ditentang oleh mayoritas serikat buruh dan kaum buruh, akibatnya UU tidak pernah dilaksanakan. Namun usaha Negara tidak berhenti sampai di situ. Tahun 1998 kemudian muncul 3 rancangan UU yang sesungguhnya merupakan pecahan dari UU No. 25 tahun 1997. Paket 3 UU Perburuhan itu adalah: UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003, dan UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) No. 4 tahun 2004. Paket 3 UU Perburuhan ini mencabut sekitar 20-an UU perburuhan beserta puluhan peraturan pelaksana (PP, Keppres, Kepmen) yang berlaku dan menjadi tonggak sistem hukum perburuhan yang berlaku.

Dalam prakteknya, pelaksanaan Paket 3 UU Perburuhan ini banyak sekali mengalami benturan. UU No. 21 tahun 2000 yang diharapkan mampu memberikan perlindungan bagi buruh dan serikat buruh, ternyata hampir serupa dengan macan kertas. Konsep pemberian sanksi pidana bagi pengusaha yang melanggar kebebasan buruh untuk berserikat dan berorganisasi, sampai hari ini nyaris tak berbunyi dan sekedar menjadi pasal yang impoten. Machmud Permana, aktivis SP PT Bridgestone Indonesia yang di-PHK semena-mena karena melakukan aktivitas keserikatburuhan, sejak tahun 2002 berusaha untuk mengadukan kasus tentang pelanggaran hak berserikat. Sampai hari ini, tidak ada titik terang dari kepolisian-kejaksaan-Depnakertrans, sebagai pihak yang berwenang untuk memproses kasus pidana. Puluhan kasus sejenis berderet-deret di kantor-kantor kepolisian dan kejaksaan setempat tanpa ada titik terang kapan akan dibawa ke proses pemeriksaan perkara di pengadilan. Analisa sementara yang muncul atas kondisi ini adalah (a) lemahnya political will Negara untuk menegakkan UU No. 21 tahun 2000 dan (b) bobroknya mekanisme law enforcement di negeri kita ini terlindas kekuatan politik uang. UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 secara formal menempatkan buruh pada posisi yang lemah: tidak ada job security (tidak ada kepastian keamanan kerja); legitimasi hukum bagi majikan/pemilik modal untuk tidak memberikan/menyediakan jaminan sosial bagi buruhnya; longgarnya prosedur PHK sehingga buruh semakin mudah untuk di-PHK (tidak perlu ada ijin dari lembaga tripartit, dirubahnya sifat perselisihan perburuhan, dari sifat publik menjadi urusan privaat/perdata semata); amat fleksibelnya sistem hubungan kerja; terlanggarnya hak-hak serikat buruh (hak untuk berunding, melakukan aktivitas serikat buruh di tempat kerja, hak untuk mogok). UU ini juga amat executive heavy; memberikan kebebasan besar kepada pemerintah eksekutif yang berkuasa untuk menterjemahkan pasal-pasal yang ada di dalamnya dalam bentuk keputusan-keputusan.

Contoh mutakhir dari ini adalah keputusan Menakertrans yang mengabaikan penghitungan upah minimum menurut KHL, seperti yang diamanatkan oleh UUK. Akibatnya, besaran upah minimum tahun 2005 dipatok berdasarkan interpretasi atas kebutuhan hidup minimum. Terhadap UU No. 13 tahun 2003 telah diajukan Judicial Review di Mahkamah Konstitusi pada tahun 2003. Permohonan ini diajukan oleh sekitar 20-an serikat buruh di tingkat nasional-regional untuk meminta pembatalan pemberlakuannya karena dianggap melanggar hak asasi buruh dan serikat buruh seperti yang dijaminkan oleh UUD 1945. Bulan Oktober 2004, Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak permohonan pembatalan UU ini.[1]

Tahun 2006, isu menjadi hangat ketika pemerintah merencanakan untuk merevisi UU No. 13/2003 dengan alasan bahwa undang-undang tersebut memberatkan pihak pengusaha dan menghambat masuknya investor lokal dan asing, karena alasan tenaga kerja sebagai penyebab biaya tinggi dalam pemberian pesangan ketika PHK. Masalah ketenagakerjaan sebenarnya bukan penghambat utama masalah investasi dan biaya tinggi. Berdasarkan survei World Economic Forum (WEF), peraturan ketenagakerjaan (labor regulation) ditempatkan di urutan ketujuh. Dari survei WEF itu, faktor yang menjadi hambatan investasi adalah birokrasi pemerintah yang tidak efisien, infrastruktur yang tidak memadai, peraturan perpajakan, korupsi, kualitas sumber daya manusia, dan instabilitas kebijakan. Dalam draf revisi, setidaknya ada dua pasal penting yang dapat menimbulkan kontroversi yang tajam. Dua ketentuan itu adalah pesangon dan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Penolakkan dilakukan oleh serikat pekerja, karena revisi ini akan lebih merugikan pekerja atas nama perbaikkan investasi dan menghalalkan upah buruh rendah. Kondisi dan syarat-syarat pekerja semakin terpuruk. Protes yang terus menerus dilakukan serikat pekerja/buruh menolak rencana pemerintah untuk merevisi UU No. 13/2003.

Akhirnya pada hari Sabtu tanggal 8 April 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa pemerintah untuk sementara tidak akan membawa draft revisi ke DPR. Untuk sementara buruh/pekerja menang, dan kemenangan itu bukan karena kebaikan atau kemurahan hati Presiden tapi memang perjuangan keras para buruh/pekerja dan serikat pekerjanya. Buruh/pekerja dan serikat pekerjanya masih tetap harus berjuang dan memastikan bahwa perjuangan itu belum selesai karena mungkin pemerintah akan memiliki skenario lain. Yang menjadi pertanyaan saya adalah adakah hubungannya antara pekerja pemerintah/BUMN/D dengan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan di Indonesia? Kalau “diamati” bahwa peraturan itu seperti hanya milik pekerja swasta dan tidak akan berpengaruh bagi pekerja pemerintah/BUMN/D. Sepertinya kita selalu tenang-tenang saja ketika pemerintah mempersiapkan (memaksakan) undang-undang perburuhan baru! Seperti ketika serikat pekerja lain (sektor swasta) dengan gencarnya menolak rencana revisi tersebut, dimana kita? Apa posisi yang kita keluarkan? Pro atau kontra? Dukungan apa yang kita berikan!

Solidaritas serikat pekerja: nasional dan internasional Pergerakkan serikat pekerja telah tua, dimulai akhir abad 18 awal abad 19 (Eropa dan Amerika, di Indonesia sendiri mungkin pada awal tahun 1900? Serikat pekerja kereta api?), disini saya tidak akan mengajari sejarah pergerakkan serikat pekerja (tetapi sebenarnya pengetahuan ini penting, karena bisa menjadi role-model bagi pergerakkan serikat pekerja kita). Mengapa solidaritas? Mengapa kesatuan (serikat) pekerja? Kerjasama dan solidaritas antar sesama pekerja baik secara nasional dan internasional adalah suatu hal yang sangat penting untuk meningkatkan pengaruh yang lebih luas lagi, memungkinkan pekerja menjadi lebih terwakili dan mempertinggi kekuatan yang efektif dalam menghadapi tekanan. Kerjasama dan solidaritas serikat pekerja adalah kesempatan untuk pekerja dalam perwakilan kepentingan secara kolektif menjadi satu, satu suara bulat, berbasis pada keyakinan akan “divided we fall, united we stand”.

Serikat pekerja bisa bergabung dengan organisasi nasional ataupun internasional, bergabung atau bekerja sama dengan organisasi internasional seperti PSI (Public Services International), ITUC (International Trade Unions Confederation) dan global unions lainnya melalui mereka kita akan bergabung dengan bersama dengan jutaan pekerja diseluruh dunia yang berjuang bagi kepentingan dan hak pekerja. Melalui bergabung dengan organisasi lain akan mendapatkan manfaat seperti program pendidikan, konferensi, seminar, workshop ataupun kegiatan lainnya yang diselenggarkan oleh organisasi nasional ataupun internasional tersebut dimaksud. Yang terpenting adalah kita menjadi bagian dari solidaritas pekerja baik nasional dan internasional.

Public Services International dan serikat pekerja layanan umum (public sector unions)

Public Services International adalah Federasi Serikat Pekerja Internasional (Global Union Federation) bagi para pekerja di sektor pelayanan umum di seluruh dunia dan menjadi payung organisasi bagi 20 juta pekerja dari 640 serikat pekerja di 149 negara. Pasal 2 ayat 2 PSI Konstitusi “PSI terdiri dari organisasi-organisasi yang personelnya bekerja di pemerintah nasional, regional, dan lokal; perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bidang produksi dan pasokan gas, listrik dan air; jasa pembuangan, pemrosesan, dan pendaur-ulangan limbah; jasa layanan kesehatan, lingkungan, dan sosial; jasa layanan pendidikan, kebudayaan, dan rekreasi; pembangunan dan pemeliharaan jalan dan bangunan; dan lembaga-lembaga lain yang fungsinya adalah untuk menyediakan jasa kepada publik. PSI juga menerima afiliasi dari organisasi-organisasi para karyawan di lembaga-lembaga internasional yang didirikan oleh asosiasi-asosiasi pemerintah atau lembaga kenegaraan yang berwenang”. Di Indonesia PSI telah memiliki 6 (enam) anggota yaitu: FSP.FARKES/R, SP.PLN-Persero, SP.Angkasa Pura 1, SP.PJB, SP.PDAM Jakarta dan PP Indonesia Power

PSI adalah sebuah lembaga otonom yang bekerja dalam hubungannya dengan federasi yang mencakup sektor-sektor tenaga kerja lainnya dan dengan International Trade Unions Confederation (ICFTU). PSI adalah sebuah organisasi non pemerintah yang diakui secara resmi untuk sektor publik dalam Organisasi Buruh Sedunia (International Labour Organisation) dan status konsultatif dengan ECOSOC dan status peninjau dengan badan-badan PBB lainnya seperti UNCTAD dan UNESCO. “PSI adalah sebuah organisasi serikat pekerja internasional. Lembaga ini dibentuk atas prinsip-prinsip solidaritas antara para pekerja sektor publik di seluruh dunia. Ia mempromosikan dialog, konsertasi dan kerja sama internasional sebagai sarana untuk memecahkan masalah-masalah global. Ia harus mempromosikan pembangunan ekonomi berdasarkan prinsip-prinsip hak asasi manusia, keadilan sosial dan pembangunan sosial, khususnya untuk negara-negara dan kawasan-kawasan miskin dan kurang berkembang di dunia. Ia harus mempromosikan perdamaian dan perlindungan lingkungan pada tingkat internasional, regional dan nasional. Melalui pembagian sumber-sumber daya, mewakili afiliasi, pendidikan, dan pengkoordinasian kegiatan-kegiatan afiliasi dan dukungan timbal balik” (Pasal 3 PSI Konstitusi).

Sejak berdirinya pada tahun 1907 PSI bersama-sama dengan para pekerja pelayanan umum diseluruh dunia telah mengkoordinasikan usahanya untuk berjuang akan hak–hak serikat pekerja dan untuk efesiensi dan kualitas pelayanan publik. Dan secara bersamaan PSI menyediaan program-program pendidikan dan pelatihan yang berbasis pada kebutuhan serikat pekerja anggotanya dan diprioritaskan pada pembangunan struktur serikat pekerja yang mandiri, bebas dan demokratik agar mereka mampu menghadapi tantangan saat ini dan kedepan.

PSI telah aktif dalam pendidikan dan pembangunan kapasitas diantara para anggota afiliasinya, dan di Asia dan Pasifik proyek-proyek pengembangan serikat pekerja telah dilaksanakan untuk beberapa tahun. Beberapa proyek jangka panjang untuk perempuan dan hak-hak serikat pekerja sedang dijalankan. Kantor-kantor sub-wilayah koordinasi dan perwakilan nasional kolaborasi dengan para anggota affiliasi dalam program-program tersebut. Penelitian dilakukan secara periodik untuk mendapatkan akses kebutuhan-kebutuhan para anggota affiliasi dan untuk menguatkan rencana aksi. Kantor pusat PSI (PSI Headquarters) adalah di Ferney-Voltaire, Perancis (dekat dengan perbatasan Swiss dan Jenewa), dan untuk memudahkan komunikasi dengan para anggota afiliasinya PSI dibagi menjadi beberapa regional dan sub-regional. Untuk regional Asia Pasifik berada di Kuala Lumpur Malaysia, aktifitas sehari-hari dijalankan oleh Regional Secretary dan Sub-regional Asia Tenggara berada di Singapura, aktifitas sehari-hari dijalankan oleh Sub-regional Secretary.

Serikat Pekerja dan Tantangan yang dihadapi Saat ini tantangan yang sangat berat dihadapi oleh pergerakkan serikat pekerja, dimana mereka akan tetap mempertahankan kondisi tradisional yang mereka miliki atau berubah menjadi dinamis. Sebagai contoh tantangan globalisasi berdampak pada pengurangan jumlah anggota karena tipe kerja dan pekerjaan yang berubah. Karena kondisi tersebut apa yang dapat serikat pekerja lakukan? Diam saja karena merasakan bahwa perubahan tersebut adalah hal yang alamiah, atau menetapkan strategi baru dalam proses perorganisasian dan perekruitan anggota. Tantangan kemandirian, dimana setelah sekian lama organisasi tergantung pada bantuan/dana dari organisasi lain untuk pelaksanaan kegiatan, tantangan pemimpin serikat pekerja kuning (mementingkan kepentingan diri/pengusaha dibandingkan dengan pekerja). Tantangan lain dari serikat pekerja layanan publik tidak hanya seputar kepentingan anggota (pekerja) tetapi bagaimana mempertahankan dan meningkatkan kualitas layanan publik (Quality Public Services): kampanye anti-korupsi, kampanye anti-privatisasi, kampaye positif image dan kualitas pelanggan, dan sebagainya

Apa yang harus serikat pekerja lakukan? Kekuatan serikat pekerja ditentukan oleh solidaritas dan kesatuan yang aktif para anggotanya serta mampu mewakili kepentingan mereka yang berbeda, ANGGOTA MENJADI KUNCI tanpa mereka serikat pekerja adalah omong kosong (atau disebut dengan yellow union yaitu serikat pekerja dibentuk karena kepentingan seseorang atau kelompok tertentu dan menjadikan organisasi tersebut sebagai alat atau kendaran untuk mencapai kepentingannya atau kelompok tersebut).

Serikat pekerja adalah juga organisasi yang permanent dan berkelanjutan yang berarti bahwa dibutuhkan kepercayaan dan pengakuan yaitu kepemimpinan serikat pekerja yang kuat dan benar-benar mewakili kepentingan anggotanya (strong leadership and well-recognized representative). Hal itu juga berarti bahwa jaminan keamanan dan kesejahteraan yang telah kita miliki akan berlanjut bila serikat pekerja kita berkembang bersama para anggotanya dan terus memiliki kepemimpinan yang kuat serta benar-benar mewakili kepentingan kita sebagai anggota.

Apa yang harus kita lakukan? Kembangkan sikap dengan menjadikan SERIKAT PEKERJA sebagai jalan hidup kita, dan JANGAN menjadikan organisasi ini sebagai alat atau kendaraan pribadi/kelompok tertentu, dan yang terpenting adalah kita harus ikut secara aktif berkontribusi bagi pertumbuhan ORGANISASI yang demokratik, mandiri, bebas dan benar-benar mewakili kepentingan dan hak-hak kita sebagi pekerja. Kembangkan prinsip membantu SERIKAT PEKERJA adalah membantu Anda (help union is helping you) dan bersama-sama membangun serikat pekerja yang kokoh, yang artinya bahwa:
  • Anggota dan Pengurus menjunjungi tinggi nilai-nilai yang diyakini dan dimiliki oleh organisasi: AD/ART dan peraturan/Kebijakan yang diputuskan bersama oleh serikat pekerja (Respect to the high valued of organization-Union Constitution);
  • Mengembangkan diri menjadi anggota serikat pekerja dan pekerja yang berkualitas;
  • Membangun dan mengembangkan strategi perundingan kerja bersama yang sukses dan berkelanjutan guna mempertinggi standar dan kualitas kehidupan para anggota;
  • Mendorong anggota untuk terlibat secara penuh dalam peningkatan produktifitas perusahaan serta memastikan bahwa para pekerja mendapatkan hak atas imbalan produktifitas yang telah dilakukan;
  • Menguatkan budaya organisasi melalui perorganisasian dan menjadi para anggotanya terlibat secara aktif dalam setiap program dan kegiatan yang diadakan oleh serikat pekerja;
  • Partisipasi yang luas anggota dalam serikat pekerja;
  • Kepemimpinan yang kuat, efektif dan benar-benar dipilih dan mewakili kepentingan anggota dan serikat pekerja;
  • Kesetaraan kesempatan bagi semua anggota, dan membiarkan anggota muda untuk tumbuh dan berkembang memperkuat organisasi (ingat bahwa anggota muda adalah Pemimpin masa depan – our future leaders);
  • Terus menerus melakukan peninjauan kinerja organisasi (visi/misi, kebijakan, struktur, manajemen, strategi) demi memenuhi harapan pelayanan yang layak dan memadai bagi anggota serta dalam menghadapi tekanan/tantangan organisasi;
  • Program pendidikan serikat pekerja yang terprogram dan berkelanjutan;
  • Membangun kemandirian yang utuh; administrasi dan keuangan organisasi;
  • Secara aktif terlibat baik secara internal (ditempat kerja) ataupun secara external (nasional dan internasional), afiliasi (atau) bergabung dengan serikat pekerja nasional dan internasional.
Union have to become active agents for change: in the unions, in the way they operate and communicate, in the way their members approach their jobs

[1] disadur dari makalah Rita Olivia Tambunan “Advokat Hak Asasi Manusia Dalam Perselisihan Perburuhan”

sumber
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Ramches Merdeka | SBMI | Mas Template
Copyright © 2011. GEBUK PHK - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger